Sejarah Pijat Tradisional di Indonesia
1. Masa Pra-Kerajaan (Sebelum Abad ke-4 M)
Sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, masyarakat Indonesia telah mempraktikkan berbagai metode penyembuhan alami, termasuk pijat tradisional. Praktik ini berkembang secara turun-temurun dalam komunitas lokal dan biasanya dilakukan oleh dukun, tabib, atau orang tua yang dipercaya memiliki pengetahuan tentang kesehatan. Bentuk pijat saat itu bersifat sederhana, dilakukan dengan tangan kosong, tekanan ibu jari, pemijatan dengan batu hangat, serta penggunaan minyak kelapa dan ramuan herbal lokal seperti jahe, kunyit, dan sereh. Fungsi utamanya adalah mengobati kelelahan, mengurangi nyeri otot, dan melancarkan peredaran darah. Pijat bukan hanya untuk fisik, tetapi juga dipercaya menyelaraskan energi tubuh atau roh.
2. Masa Kerajaan Kutai (± Abad ke-4 M)
Kerajaan Kutai, yang terletak di Kalimantan Timur, merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang berdiri sekitar abad ke-4 M. Dengan masuknya pengaruh budaya India, sistem pengobatan Ayurveda mulai dikenalkan kepada masyarakat elit dan tabib kerajaan. Ayurveda sangat menekankan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan roh, dan pijat merupakan bagian penting dari pendekatan ini. Teknik pijat yang diperkenalkan menggabungkan sentuhan terapeutik dengan penggunaan minyak hangat, ramuan herbal, dan pengaturan napas. Di lingkungan kerajaan, pijat digunakan untuk merawat raja dan para ksatria setelah perang atau latihan fisik berat, sekaligus sebagai bentuk pemulihan spiritual.
3. Masa Kerajaan Sriwijaya (± 683–1300 M)
Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang dikenal sebagai kerajaan maritim Buddha terbesar di Asia Tenggara pada masanya. Dengan pengaruh Buddhisme Mahayana, pijat tidak hanya digunakan sebagai sarana penyembuhan fisik tetapi juga sebagai pelengkap dalam latihan meditasi dan pemurnian batin. Teknik pijat pada masa ini mulai menunjukkan pengaruh dari Tiongkok dan Tibet melalui jalur perdagangan, yang memperkenalkan teknik tekanan titik-titik tertentu dalam tubuh yang mirip dengan akupresur. Para bhiksu dan bangsawan kerajaan biasa menjalani terapi pemijatan untuk menjaga kebugaran tubuh dan membantu konsentrasi dalam meditasi panjang.
4. Masa Kerajaan Mataram Kuno (± 750–1000 M)
Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah merupakan kerajaan yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu dan Buddha. Dalam budaya kerajaan ini, kesehatan tubuh menjadi bagian dari laku spiritual. Pijat digunakan sebelum ritual-ritual besar, seperti upacara pemujaan dewa atau meditas. Para tabib kerajaan mulai menggunakan minyak esensial dari tumbuh-tumbuhan lokal, seperti cendana, kenanga, dan jahe untuk memberikan efek relaksasi dan penyembuhan. Teknik pemijatan bersifat lembut namun menyeluruh, dan biasa dilakukan bersamaan dengan pengolesan lulur atau ramuan boreh untuk membersihkan tubuh dari racun.
5. Masa Kerajaan Majapahit (1293–1527 M)
Pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, pijat mencapai tingkat pengembangan yang tinggi. Di lingkungan keraton, pijat dianggap sebagai bagian penting dari perawatan kebugaran dan kemewahan hidup. Kaum bangsawan, prajurit, dan keluarga kerajaan memiliki abdi dalem khusus yang bertugas sebagai pemijat atau ahli pengobatan. Mereka mempraktikkan teknik-teknik pijat menggunakan tekanan, urutan otot, serta pengaplikasian ramuan tradisional seperti minyak kelapa, rempah-rempah, dan bubuk boreh untuk menyegarkan tubuh. Dalam naskah-naskah kuno seperti Serat Centhini, disebutkan pula tentang kebiasaan keluarga kerajaan melakukan perawatan tubuh melalui pijat, lulur, mandi bunga, dan jamu, yang semuanya terintegrasi dalam filosofi hidup sehat Jawa.
6. Masa Kesultanan Islam (± 1500–1700 M)
Setelah masuknya Islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak, Mataram Islam, dan Cirebon, pijat tradisional tetap eksis, namun dengan sentuhan spiritual Islam. Di kalangan pesantren dan masyarakat desa, pijat dikenal dengan istilah “urut” atau “pijatan kebatinan”, yang sering disertai dengan doa-doa, ayat suci Al-Qur’an, atau wirid tertentu. Praktik ini dilakukan oleh para kyai, santri tua, atau tabib kampung yang memiliki pemahaman tentang energi tubuh dan keyakinan spiritual. Selain mengatasi masalah fisik seperti keseleo, kelelahan, dan gangguan pencernaan, pijat juga dianggap mampu membersihkan energi negatif dari tubuh. Teknik-teknik seperti pijat pada titik syaraf tertentu (sering disebut simpul angin atau simpul masuk angin) banyak digunakan hingga kini di berbagai daerah.
7. Masa Kolonial Belanda (1600–1945 M)
Pada masa penjajahan Belanda, praktik pijat tradisional mengalami pasang surut. Di satu sisi, pemerintah kolonial memperkenalkan sistem kedokteran modern yang membuat pijat tradisional dianggap sebagai metode non-ilmiah dan hanya dipakai oleh rakyat kecil. Namun di sisi lain, sejumlah dokter Belanda tertarik untuk mempelajari teknik pijat lokal yang ternyata efektif dalam mengatasi masalah otot dan sendi. Beberapa tulisan ilmiah dan laporan medis kolonial mencatat tentang manfaat pijat tradisional Jawa dan Bali. Bahkan, di rumah sakit tertentu, terapi pijat diperbolehkan sebagai pelengkap pemulihan pasca-bedah atau cedera otot.
8. Masa Kemerdekaan hingga Modern (1945–sekarang)
Setelah Indonesia merdeka, pijat tradisional mulai mendapatkan pengakuan kembali sebagai bagian dari warisan budaya dan pengobatan alternatif. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Kebudayaan mulai mendorong pelestarian praktik pijat melalui pelatihan, sertifikasi, dan dokumentasi warisan budaya. Saat ini, pijat tradisional sudah berkembang menjadi berbagai bentuk seperti Pijat Jawa, Pijat Bali, Pijat Batak, Pijat Bugis, dan Pijat Dayak, masing-masing dengan ciri khas teknik, filosofi, dan penggunaan ramuan lokal. Di era modern, pijat tradisional juga telah menjadi bagian dari industri spa, wellness, dan pariwisata, bahkan dipadukan dengan aromaterapi dan teknik barat seperti refleksiologi dan shiatsu.